Minggu, 07 April 2013

Cyber Law di Negara-negara Lain

 
     Banyak orang yang mengatakan bahwa dunia cyber (cyberspace) tidak dapat diatur. Cyberspace adalah dunia maya dimana tidak ada lagi batas ruang dan waktu. Padahal ruang dan waktu seringkali dijadikan acuan hukum. Jika seorang warga Indonesia melakukan transaksi dengan sebuah perusahaan Inggris yang menggunakan server di Amerika, dimanakah (dan kapan) sebenarnya transaksi terjadi? Hukum mana yang digunakan?
     Teknologi digital yang digunakan untuk mengimplementasikan dunia cyber memiliki kelebihan dalam hal duplikasi atau regenerasi. Data digital dapat direproduksi dengan sempurna seperti aslinya tanpa mengurangi kualitas data asilnya. Hal ini sulit dilakukan dalam teknologi analog, dimana kualitas data asli lebih baik dari duplikatnya. Sebuah salian (fotocopy) dari dokumen yang ditulis dengan tangan memiliki kualitas lebih buruk dari aslinya. Seseorang dengan mudah dapat memverifikasi keaslian sebuah dokumen. Sementara itu dokumen yang dibuat oleh sebuah wordprocessor dapat digandakan dengan mudah, dimana dokumen “asli” dan “salinan” memiliki fitur yang sama. Jadi mana dokumen yang “asli”? Apakah dokumen yang ada di disk saya? Atau yang ada di memori komputer saat ini? Atau dokumen yang ada di CD-ROM atau flash disk? Dunia digital memungkinkan kita memiliki lebih dari satu dokumen asli.
     Seringkali transaksi yang resmi membutuhkan tanda tangan untuk meyakinkan keabsahannya. Bagaimana menterjemahkan tanda tangan konvensional ke dunia digital? Apakah bisa kita gunakan tanda tangan yang di-scan, atau dengan kata lain menggunakan digitized signature? Apa bedanya digitized signature dengan digital signature dan apakah tanda tangan digital ini dapat diakui secara hukum?
     Tanda tangan ini sebenarnya digunakan untuk memastikan identitas. Apakah memang digital identity seorang manusia hanya dapat diberikan dengan menggunakan tanda tangan? Dapatkah kita menggunakan sistem biometrik yang dapat mengambil ciri kita dengan lebih akurat? Apakah e-mail, avatar, digital dignature, digital certificate dapat digunakan sebagai identitas (dengan tingkat keamanan yang berbeda-beda tentunya)?
     Semua contoh-contoh (atau lebih tepatnya pertanyaan-pertanyaan) di atas menantang landasan hukum konvensional. Jadi, apakah dibutuhkan sebuah hukum baru yang bergerak di ruang cyber, sebuah cyberlaw? Jika dibuat sebuah hukum baru, manakah batas teritorinya? Riil atau virtual? Apakah hukum ini hanya berlaku untuk cybercommunity – komunitas orang di dunia cyber yang memiliki kultur, etika, dan aturan sendiri – saja? Bagaimana jika efek atau dampak dari (aktivitas di) dunia cyber ini dirasakan oleh komunitas di luar dunia cyber itu sendiri?
Atau apakah kita dapat menggunakan dan menyesuaikan hukum yang sudah ada saat ini?
     Kata “cyber” berasal dari “cybernetics,” yaitu sebuah bidang studi yang terkait dengan komunikasi dan pengendalian jarak jauh. Norbert Wiener merupakan orang pertama yang mencetuskan kata tersebut. Kata pengendalian perlu mendapat tekanan karena tujuannya adalah “total control.” Jadi agak aneh jika asal kata cyber memiliki makna dapat dikendalikan akan tetapi dunia cyber tidak dapat dikendalikan.


Cyberlaw di Indonesia
     Inisiatif untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999. Fokus utama waktu itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Karena sifatnya yang generik, diharapkan rancangan undang-undang tersebut cepat diresmikan dan kita bisa maju ke yang lebih spesifik. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana.
     Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
     Namun ternyata dalam perjalanannya ada beberapa masukan sehingga hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw” Indonesia. Beberapa hal yang mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan kejahatan di dunia maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking, membocorkan password, electronic banking, pemanfaatan internet untuk pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan nama domain, dan masalah privasi. Penambahan isi disebabkan karena belum ada undang-undang lain yang mengatur hal ini di Indonesia sehingga ada ide untuk memasukkan semuanya ke dalam satu rancangan. Nama dari RUU ini pun berubah dari Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya materi ini dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang.
     Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Dapatkah hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, maka Indonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan mengejar cracker ini ke luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia. Pendekatan ini dilakukan oleh Amerika Serikat.
Cyber Law di Malaysia
     Lima cyberlaws telah berlaku pada tahun 1997 tercatat di kronologis ketertiban. Digital Signature Act 1997 merupakan Cyberlaw pertama yang disahkan oleh parlemen Malaysia. Tujuan Cyberlaw ini, adalah untuk memungkinkan perusahaan dan konsumen untuk menggunakan tanda tangan elektronik (bukan tanda tangan tulisan tangan) dalam hukum dan transaksi bisnis. Computer Crimes Act 1997 menyediakan penegakan hukum dengan kerangka hukum yang mencakup akses yang tidak sah dan penggunaan komputer dan informasi dan menyatakan berbagai hukuman untuk pelanggaran yang berbeda komitmen. Para Cyberlaw berikutnya yang akan berlaku adalah Telemedicine Act 1997.

Cyberlaw ini praktisi medis untuk memberdayakan memberikan pelayanan medis / konsultasi dari lokasi jauh melalui menggunakan fasilitas komunikasi elektronik seperti konferensi video. Berikut pada adalah Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia 1998 yang mengatur konvergensi komunikasi dan industri multimedia dan untuk mendukung kebijakan nasional ditetapkan untuk tujuan komunikasi dan multimedia industri. The Malaysia Komunikasi dan Undang-Undang Komisi Multimedia 1998 kemudian disahkan oleh parlemen untuk membentuk Malaysia Komisi Komunikasi dan Multimedia yang merupakan peraturan dan badan pengawas untuk mengawasi pembangunan dan hal-hal terkait dengan komunikasi dan industri multimedia.
     Departemen Energi, Komunikasi dan Multimedia sedang dalam proses penyusunan baru undang-undang tentang Perlindungan Data Pribadi untuk mengatur pengumpulan, kepemilikan, pengolahan dan penggunaan data pribadi oleh organisasi apapun untuk memberikan perlindungan untuk data pribadi seseorang dan dengan demikian melindungi hak-hak privasinya. Ini to be undang yang berlaku didasarkan pada sembilan prinsip-prinsip perlindungan data yaitu :
  • Cara pengumpulan data pribadi
  • Tujuan pengumpulan data pribadi
  • Penggunaan data pribadi
  • Pengungkapan data pribadi
  • Akurasi dari data pribadi
  • Jangka waktu penyimpanan data pribadi
  • Akses ke dan koreksi data pribadi
  • Keamanan data pribadi
  • Informasi yang tersedia secara umum.
Council of Europe Convention on Cyber crime (Eropa)
     Saat ini berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cybercrime. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer-related crime, di mana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporannya yang berjudul Computer-Related Crime: Analysis of Legal Policy. Laporan ini berisi hasil survey terhadap peraturan perundang-undangan Negara-negara Anggota beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer-related crime tersebut, yang mana diakui bahwa sistem telekomunikasi juga memiliki peran penting dalam kejahatan tersebut.


Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasarkan hukum pidana Negara-negara Anggota, dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer-related crime tersebut. Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime in Cyberspace of the Committee on Crime Problems, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan Draft Convention on Cyber-crime sebagai hasil kerjanya , yang menurut Prof. Susan Brenner dari University of Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis.

Dari berbagai upaya yang dilakukan tersebut, telah jelas bahwa cybercrime membutuhkan global action dalam penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat transnasional. Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah:

  1. Melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut
  2. Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional
  3. Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime
  4. Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi
  5. Meningkatkan kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties
Keterbatasan UU Telekomunikasi Dalam Mengatur Penggunaan Teknologi Informasi     Di negara kita banyak sekali UU yang kita sendiri tidak mengetahui persis apa isinya tetapi di sini akan di jelaskan salah satunya yaitu UU NO.36Keterbatasan UU Telekomunikasi Dalam Mengatur Penggunaan Teknologi Informasi

     Didalam UU No. 36 telekomunikasi berisikan sembilan bab yang mengatur hal-hal berikut ini ; Azas dan tujuan telekomunikasi, pembinaaan, penyelenggaraan telekomunikasi, penyidikan, sanksi administrasi, ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Undang-Undang ini dibuat untuk menggantikan UU No.3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, karena diperlukan penataan dan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional yang dimana semua ketentuan itu telah di setujuin oleh DPRRI.

     UU ini dibuat karena ada beberapa alasan, salah satunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat cepat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi.

     Dengan munculnya undang-undang tersebut membuat banyak terjadinya perubahan dalam dunia telekomunikasi, antara lain :

1.Telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2.Perkembangan teknologi yang sangat pesat tidak hanya terbatas pada lingkup telekomunikasi itu saja, maleinkan sudah berkembang pada TI.

3.Perkembangan teknologi telekomunikasi di tuntut untuk mengikuti norma dan kebijaksanaan yang ada di Indonesia.


     Apakah ada keterbatasan yang dituangkan dalam UU no.36 Telekomunikasi tersebut dalam hal mengatur penggunaan teknologi Informasi. Maka berdasarkan isi dari UU tersebut tidak ada penjelasan mengenai batasan-batasan yang mengatur secara spesifik dalam penggunaan teknologi informasi tersebut, artinya dalan UU tersebut tidak ada peraturan yang secara resmi dapat membatasi penggunaan teknologi komunikasi ini. Namun akan lain ceritanya jika kita mencoba mencari batasan-batasan dalam penggunaan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual, maka hal tersebut diatur dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terutama BAB VII tentang Perbuatan yang Dilarang. Untuk itu kita sebagai pengguna teknologi informasi dan komunikasi harus lebih bijak dan berhati-hati lagi dalam memanfaatkan teknologi ini dengan memperhatikan peraturan dan norma yang ada.

Modus-modus kejahatan dalam Teknologi Informasi

 
Kejahatan Teknologi Informasi
  • Perkembangan teknolgi informasi yang begitu cepat dan mampu menghilangkan batas wilayah suatu negara menjadikan dunia ini terasa begitu sempit.
  • Keberhasilan teknologi informasi ini diikuti juga dengan kejahatan teknologi informasi.
  • Keterhubungan antara jaringan yang satu dengan jaringan yang lain memudahkan bagi si pelaku kejahatan untuk melakukan aksinya.
  • Dengan tidak meratanya penyebaran teknologi menjadikan yang satu lebih kuat daripada yang lain.
  • Kelemahan tersebut dimanfaatkan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kejahatan. Hal ini mengakibatkan kerugian dan banyak orang harus membayar mahal untuk mencegahnya dan menataati hukum yang ada.
Motif
  • Motif intelektual
Kejahatan yang dilakukan hanya untuk kepuasan pribadi dan menunjukkan bahwa dirinya telah mampu untuk merekayasa dan mengimplementasikan bidang teknologi informasi.
  • Motif ekonomi, politik, dan kriminal
Kejahatan yang dilakukan untuk keuntungan pribadi atau golongan tertentu yang berdampak pada kerugian secara ekonomi dan politik pada pihak lain.
Devinisi atau pengertian
  • Kriminalitas dunia maya (cybercrime) atau kriminalitas di internet adalah tindakan pidana criminal yang dilakukan pada teknologi internet (cyberspace), baik yang menyerang fasilitas umum di dalam cyberspace ataupun kepimilikan pribadi.
  • Cyberspace ® perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan internet yang berbasis kecanggihan teknologi komputer dan telekomunikasi.
  • Tindak pidana tersebut dapat dibedakan menjadi Off-line Crime, Semi On-line Crime, dan CyberCrime. Masing-masing memiliki karakteristik sendiri, namun perbedaan yang utama adalah keterhubungan dengan jaringan informasi public (Internet)
Karakteristik Cybercrime
  • Ruang lingkup kejahatan
- Bersifat global
Cybercrime seringkali dilakukan secara transnasional, melintasi batas Negara sehingga sulit dipastikan yuridikasi hukum negara yang berlaku terhadap pelaku. Karakteristik internet dimana orang dapat berlalu-lalang tanpa identitas (anonymous) memungkinkan terjadinya berbagai aktivitas jahat yang tak tersentuh hukum.
  • Sifat kejahatan
- Bersifat non-violence
Tidak menimbulkan kekacauan yang mudah terlibat.
  • Pelaku kejahatan
- Bersifat lebih universal
Kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang menguasai penggunaan internet beserta aplikasinya.
  • Modus kejahatan
Keunikan kejahatan ini adalah penggunaan teknologi informasi dalam modus operandi, sehingga sulit dimengerti oleh orang-orang yang tidak menguasai pengetahuan tentang komputer, teknik pemrograman dan seluk beluk dunia cyber.
  • Jenis kerugian yang ditimbulkan
Dapat bersifat material maupun non-material, waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat bahkan kerahasian informasi.
Contoh kasus kejahatan :
Kasus klik BCA yang terjadi tahun 2001, dengan kasus kejahatan typosquatting, tetapi sangat disayangan pihak yang dirugikan menempuh jalan damai dengan alasan kepercayaan publik terhadap sistem internet banking situs aslinya http://www.klikbca.com, situs palsunya http://www.klickbca.com
Ruang Lingkup kejahatan Komputer
  1. Komputer sebagai instrumen untuk melakukan kejahatan tradisional, seperti digunakan untuk melakukan pencurian, penipuan, dan pemalsuan melalui internet, di samping kejahatan lainnya seperti pornografi terhadap anak-anak, prostitusi online, dan lain-lain.
  2. Komputer dan perangkatnya sebagai objek penyalahgunaan, di mana data-data di dalam computer yang menjadi objek kejahatan dapat saja diubah, dimodifikasi, dihapus, atau diduplikasi secara tidak sah.
  3. Penyalahgunaan yang berkaitan dengan komputer atau data, yang dimaksud dengan penyalahgunaan di sini yaitu manakala komputer dan data-data yang terdapat di dalam computer digunakan secara illegal atau tidak sah.
  4. Unauthorized acquisition, disclosure or use of information and data, yang berkaitan dengan masalah penyalahgunaan hak akses dengan cara-cara ilegal.
Beberapa kendala di internet akibat lemahnya sistem keamanan komputer
  1. kata sandi seseorang di curi ketika terhubung ke sistem jaringan dan ditiru atau digunakan oleh pencuri.
  2. jalur komunikasi disadap dan rahasia perusahaan pun dicuri melalui jaringan komputer.
  3. Sistem informasi dimasuki (penetrated) oleh pengacau (intruder).
  4. Server jaringan dikirim data dalam ukuran sangat besar (e-mail bomb) sehingga sistem macet.
Masalah keamanan berhubungan dengan lingkungan hukum :
  1. kekayaan intelektual (intellectual property) dibajak.
  2. Hak cipta dan paten dilanggar dengan melakukan peniruan dan atau tidak membayar royalty.
  3. Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan penggunaan teknologi tertentu.
  4. Dokumen rahasia disiarkan melalui mailing list atau bulletin boards.
  5. Pegawai menggunakan internet untuk tindakan asusila seperti pornografi.
Faktor Penyebab Cybercrime
  • Segi teknis,
Tidak meratanya penyebaran teknologi dan masih banyaknya orang-orang yang tidak mengerti akan dunia teknologi.
  • Segi sosio-ekonomi,
Cybercrime merupakan produk ekonomi. isu global yang kemudian dihubungkan dengan kejahatan tersebut adalah keamanan jaringan (security network). keamanan jaringan merupakan isu global yang muncul bersamaan dengan internet. Sebagai komoditi ekonomi, banyak negara yang tentunya sangat membutuhkan perangkat keamanan jaringan.
Cybercrime berada dalam skenario besar dari kegiatan ekonomi dunia. Sebagai contoh, memasuki tahun 2000 terjadi isu virus Y2K yang akan menghilangkan atau merusak data atau informasi. Hal tersebut tentu saja membuat kekhawatiran terhadap usaha perbankan, penerbangan, pasar modal, dan sebagainya, yang pada akhirnya mereka sibuk mencari solusi cara menghindarinya. Sehingga hal tersebut menjadi ladang para penyedia jasa teknologi informasi untuk membuat perangkat atau program untuk menanggulanginya, yang pada akhirnya kenyataannya ancaman tersebut tidak pernah terjadi.
Penjelasan Kejahatan di Internet
  • Phising
adalah kegiatan memancing pemakai computer di internet (user) agar mau memberikan informasi data diri pemakai (username) dan kata sandinya (password) pada suatu website yang sudah di-deface Phising biasanya diarahkan kepada pengguna online banking.
  • SPAMMING
Spamming adalah pengiriman berita atau iklan lewat surat elektronik (e-mail) yang tak dikehendaki. Spam sering disebut juga sebagai bulk e-mail atau junk e-mail alias “Sampah”. Meski demikian, banyak yang terkena dan menjadi korbannya. yang paling banyak adalah pengiriman e-mail dapat hadiah, lotere, atau orang yang mengaku punya rekening di bank di Afrika atau Timur Tengah, minta bantuan netters untuk mencairkan, dengan janji bagi hasil.
  • CARDING
Carding adalah berbelanja menggunakan nomor dan identitas kartu kredit orang lain yang diperoleh secara ilegal, biasanya dengan mencuri data di internet. Sebutkan pelakunya adalah Carder. Sebutan lain untuk kejahatan jenis ini adalah cyberfroud alias penipuan di dunia maya. para carder kini beroperasi semakin jauh, dengan melakukan penipuan melalui ruang-ruang chatting di MIRC. Caranya para carder menawarkan barang-barang seolah-olah hasil carding-nya dengan harga murah di channel. Misalnya, laptop dijual seharga 1.000.000. Setelah ada yang berminat, carder meminta pembeli mengirim uang ke rekeningnya. Uang di dapat, tapi barang tak pernah dikirimkan.
  • MALWARE
adalah program komputer yang mencari kelemahan dari suatu software. umumnya malware diciptakan untuk membobol atau merusak suatu software atau operating system.

Profesionalime Sepak Bola di Indonesia

Janji Palsu Profesionalisme Sepak Bola
 


KOMPAS.com - Tak bisa dibantah, krisis organisasi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia yang mulai menyeruak sejak tahun 2010 merupakan salah satu kontributor penting makin tenggelamnya kinerja pembangunan persepakbolaan nasional. Krisis yang berkelanjutan praktis sampai detik ini membuat segala upaya untuk membangkitkan sepak bola nasional ibarat harus dimulai dari titik nol. Bahkan, dalam beberapa aspek, dimulai dari titik negatif, dari puing yang berserakan di sepanjang jalan sejarah.
 
Krisis ini sebenarnya bermula dari kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di bawah kendali Nurdin Halid (2003-2011) yang cenderung membiarkan klub-klub sepak bola yang bernaung di bawah kompetisi menggantungkan nasibnya pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
 
Dalam setiap kesempatan, para pengurus PSSI kala itu selalu menekankan pentingnya membawa sepak bola ke arah industrialisasi lewat pengelolaan klub yang profesional. Ironisnya, dalam setiap kesempatan pula, para petinggi PSSI selalu memberikan pembelaan terhadap sejumlah besar klub peserta liga yang bersikukuh memakai dana APBD.
 
Paradoks ini tampaknya dipelihara oleh rezim PSSI kala itu untuk mempertahankan kekuasaan. Modusnya, dengan membiarkan klub disusui APBD (yang juga sangat rentan dikorupsi karena tiadanya mekanisme kontrol), rezim penguasa PSSI bisa menyetir suara mereka dalam kongres pemilihan ketua dan anggota komite eksekutif.
 
Rezim itu juga praktis menguasai sekitar 30 suara pengurus provinsi (pengprov) dari sekitar 100 suara yang berhak memberikan suaranya di setiap kongres. Anggota pengprov, yang kebanyakan juga berasal dari pemerintahan daerah (pemda), jelas diuntungkan jika mekanisme hibah APBD terus mengucur ke sepak bola.
 
Modus pembiaran APBD ini merupakan satu dari beberapa cara yang dilakukan rezim penguasa PSSI kala itu untuk bertahan di tampuk pimpinan. Cara lain adalah dengan mengutak-atik pasal-pasal statuta dan merekayasa tata cara kongres.
 
Ambisi penguasa PSSI kala itu menimbulkan perlawanan hebat masyarakat sepak bola. Salah satunya kemudian muncul gagasan membentuk kompetisi tandingan Liga Primer Indonesia (LPI). Gagasan yang disokong penuh oleh pengusaha Arifin Panigoro itu akhirnya bergulir pada Januari 2011 dengan slogan ”Kompetisi Profesional Tanpa APBD”.
 
Namun, ini pun nyatanya hanya menjadi slogan kosong. Selain kompetisi LPI tak pernah kelar, profesionalisme penyelenggara dan klub pesertanya pun nol besar. Konsorsium yang disebut-sebut sebagai penyokong dana juga tak pernah jelas sosoknya.
 
Dualisme kompetisi

Saat rezim Nurdin ambruk dan digantikan oleh era Djohar Arifin Husin, pembangunan sepak bola praktis tak beranjak. Bahkan, kemudian timbul dua kompetisi strata tertinggi, Liga Primer Indonesia dan Liga Super Indonesia. Namun, faktanya, LPI dan LSI pun sama-sama jauh dari sempurna dalam urusan profesionalisme yang baru diteropong dari sisi kedaulatan finansial. Itu semua terbukti dari banyaknya klub yang menunggak gaji pemainnya, baik di kubu LPI maupun di sisi LSI.

 
Dualisme kompetisi ini praktis membuat kepengurusan baru PSSI tak bisa bekerja maksimal untuk menata persepakbolaan nasional yang sudah morat-marit dalam satu dekade terakhir. Semua energi ibaratnya terkuras untuk membuat pembangunan sepak bola kembali ke relnya.
 
Perintah Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) agar dibentuk komite bersama—yang di antaranya dimaksudkan untuk mencari penyelesaian dualisme kompetisi—seharusnya menjadi titik awal menuju sepak bola Indonesia yang lebih baik.
 
Komentar saya :
Profesionalime menjadi hal yang dipertanyakan dalam persepakbolaan tanah air. Munculnya LPI awalnya diharapkan menjadi kompetisi yang lebih baik dari LSI. Menurut saya LPI sudah benar dengan tidak menggunakan APBD dimana sangat rentan untuk dikorupsi apalagi dengan kontrol yang tidak baik. Tetapi sangat disayangkan yang saya lihat langsung di beberapa klub LPI dikarenakan sebagian besar klub baru, mereka membuat klub yang bisa dikatakan 'instant' dengan merekrut pemain-pemain luar yang sangat sudah berumur dengan gaji yang cukup tinggi. 
 
Mengapa pembinaan pemain-pemain muda di klub Indonesia tidak ditingkatkan, lebih baik dana APBD digunakan untuk pembinaan pemain muda. Menurut saya klub-klub di Indonesia sudah harus memperhatikan hal tersebut.                             

Senin, 01 April 2013

Etika & Profesionalisme

Etika
   
     Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani, Ethos, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Dapat dikatakan bahwa etika merupakan ilmu pengetahuan yang membahas perbuatan baik dan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.
 
Macam-macam etika :
 
1. Etika Deskriptif
      Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya etika deskriptif berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.
2. Etika Normatif
      Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi, etika normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.
 
 
Profesionalisme
 
     Berasal dari kata profesional yang mempunyai makna berhubungan dengan profesi dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (KBBI, 1994). Sedangkan profesionalisme itu sendiri adalah tingkah laku, keahlian atau kualitas dan seseorang yang profesional (Longman, 1987).
 
     Secara umum ciri-ciri profesionalisme pada bidang informasi teknologi ( IT ) adalah :
  • Memiliki kemampuan dan ketrampilan dalam bidang pekerjaan IT.
  • Memiliki wawasan yang luas.
  • Memiiliki kemampuan dalam analisa dan tanggap terhadap masalah yang terjadi.
  • Mampu berkerjasama dan dapat menjalin hubungan baik dengan rekan-rekan kerja
  • Dapat menjaga kerahasian dari sebuah data dan informasi
  • Dapat menjunjung tinggi kode etik dan disiplin etika.